top of page

Menyusutnya Kelas Menengah di Indonesia

  • Gambar penulis: juaracap
    juaracap
  • 17 Okt 2024
  • 4 menit membaca

Point Utama:

  1. Jumlah kelas menengah di Indonesia menurun, disebabkan oleh pertumbuhan gaji yang tak sebanding dengan inflasi, kenaikan biaya hidup, dan rendahnya kualitas pendidikan.

  2. Pandemi menyebabkan peralihan tenaga kerja ke sektor informal dengan pendapatan tidak pasti dan sering kali tanpa manfaat seperti asuransi.

  3. Sebagian besar pekerja hanya berpendidikan menengah atas atau lebih rendah, yang berhubungan dengan rendahnya keterampilan dan pekerjaan berupah rendah.

  4. Penurunan jumlah kelas menengah berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

  5. Rencana pemerintah diharapkan dapat meningkatkan standar hidup dan pertumbuhan kelas menengah.


Sejak pandemi COVID-19, kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan dalam jumlah dan persentase. Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), di tengah menyusutnya kelas menengah, jumlah penduduk “menuju kelas menengah” justru meningkat. Diperkirakan proporsi kelas menengah mengalami penurunan dari 21,45% pada 2019 menjadi 17,13% pada 2024 (Gambar 1). Perubahan ini mencerminkan kondisi ekonomi yang kurang mendukung untuk masyarakat naik kelas.


Gambar 1: Jumlah Penduduk Kelas Menengah, Menuju Kelas Menengah dan Rentan Miskin (2019 – 2024)

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), JUARA, Susenas


Adanya penurunan kelas menengah selama beberapa tahun terakhir disebabkan oleh beberapa faktor ekonomi dan sosial, seperti pertumbuhan gaji, kenaikan biaya hidup, peralihan pekerjaan dari sektor formal ke informal, dan menurunnya kualitas pendidikan. Kondisi ini mencerminkan tantangan bagi pemulihan ekonomi pasca-pandemi, serta diperlukannya kehadiran penggerak ekonomi yang dapat mengembalikan pertumbuhan kelas menengah di Indonesia.


Kelas menengah mendorong pertumbuhan ekonomi melalui daya beli mereka yang tinggi dan kontribusi pajak. Kelas menengah meningkatkan konsumsi domestik dengan membelanjakan lebih banyak uang untuk barang dan jasa non-pokok menggunakan disposable income (pendapatan yang dapat dibelanjakan) mereka yang lebih besar dibandingkan kelas sosial di bawahnya. Selain itu, kontribusi pajak mereka juga menambah pendapatan negara, menjadikan peningkatan jumlah kelas menengah sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi.


Menurut World Bank (2020), kelas menengah di Indonesia didefinisikan sebagai mereka yang memiliki pengeluaran antara Rp1,2 juta hingga Rp6 juta per bulan. Sebelum pandemi, kelas menengah merupakan segmen penduduk yang tumbuh paling cepat, baik dari segi persentase maupun jumlah absolut, dengan pertumbuhan mencapai 10% per tahun dan penambahan sekitar 38 juta jiwa antara tahun 2002 hingga 2016.


Namun, data dari Susenas menunjukkan bahwa jumlah kelas menengah di Indonesia mengalami kontraksi dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2019, terdapat sekitar 57 juta orang yang tergolong kelas menengah, tetapi jumlah ini diperkirakan menurun menjadi 48 juta pada tahun 2024 (Gambar 1). Di sisi lain, terjadi peningkatan jumlah penduduk menuju kelas menengah dan rentan miskin (Gambar 1), yang menunjukkan adanya penurunan kelas sosial bagi banyak masyarakat Indonesia.


Penurunan kelas masyarakat dapat disebabkan oleh harga-harga yang semakin tidak terjangkau. Kenaikan rata-rata gaji dari 2019 hingga 2023 (Gambar 2) tidak mampu mengimbangi laju inflasi selama periode yang sama. Rata-rata inflasi dari tahun 2019 hingga 2023 diperkirakan sebesar 2,9%*, yang lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan rata-rata gaji sebesar 1,8%** (Gambar 2).


Gambar 2: Rata-Rata Upah Gaji (2019 – 2023)

Sumber: BPS, JUARA


Kondisi ini berdampak pada kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan mengurangi sisa uang yang tersedia untuk belanja barang dan jasa non-pokok, atau disposable income. Menurunnya disposable income menyebabkan konsumsi barang-barang non-esensial, seperti hiburan, fashion, dan rekreasi, mengalami penurunan.


Selain faktor gaji, peralihan tenaga kerja dari sektor formal ke informal juga dapat mempengaruhi  penurunan kelas sosial di masyarakat. Pada tahun 2019, proporsi pekerja formal di Indonesia mencapai 44,12% (Gambar 3). Namun, angka ini menurun drastis ketika pandemi, dan grafik menunjukkan bahwa jumlah pekerja formal belum kembali ke level sebelumnya (Gambar 3). Situasi ini menunjukkan bahwa banyak masyarakat kini bekerja di sektor informal, dimana penghasilan mereka tidak menentu.


Menurut BPS, tenaga kerja formal mencakup buruh, karyawan, pegawai, atau pengusaha yang mempekerjakan setidaknya satu karyawan tetap, sementara pekerja informal terdiri dari mereka yang bekerja sendiri, dibantu oleh buruh tidak tetap, pekerja lepas, atau pekerja keluarga yang tidak dibayar.



Gambar 3: Persentase Tenaga Kerja Formal (2019 – 2023)

Sumber: BPS, JUARA


Pendapatan pekerja informal dapat berfluktuasi tergantung pada permintaan, dan sering kali bersifat proyek, sementara, atau harian. Selain itu, mereka mungkin tidak memperoleh manfaat seperti asuransi yang umumnya diberikan kepada pekerja formal. Kondisi ini membuat pekerja informal rentan terhadap kesulitan keuangan, terutama dalam keadaan darurat.


Aspek lain yang perlu dipertimbangkan terkait merosotnya jumlah masyarakat kelas menengah adalah turunnya kualitas pendidikan. Pada tahun 2023, sebanyak 74,7% pekerja berusia 25-64 tahun hanya memiliki pendidikan menengah atas (setara SMA) atau lebih rendah (OECD, 2023). Menurut Program for International Student Assessment (PISA), kemampuan dan keterampilan siswa dalam matematika, sains, dan membaca juga telah menurun sejak 2016 (Gambar 4). Kualitas pendidikan yang rendah ini akan menghasilkan pekerja berketerampilan rendah, yang mengarah pada pekerjaan dengan upah rendah. Hal ini menyulitkan masyarakat untuk naik kelas dan meningkatkan standar kehidupan mereka.


Gambar 4: Pengetahuan dan Keterampilan Siswa dalam Literasi, Matematika, dan Sains

Sumber: JUARA, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), PISA


Namun, di tengah kesulitan ini, terdapat optimisme yang kuat dalam upaya meningkatkan standar hidup masyarakat Indonesia. Rencana pemerintah untuk mencapai Visi Indonesia Emas 2045, melalui peningkatan akses dan kualitas pendidikan (anggaran pendidikan Rp724 Triliun, 20% APBN 2025) serta pemberian makanan bergizi untuk anak sekolah, diharapkan dapat memfasilitasi peralihan mereka ke kelas yang lebih tinggi.


Selain itu, program pemeriksaan kesehatan gratis dan rencana pembangunan rumah sakit berkualitas (anggaran kesehatan Rp198 Triliun, 5% APBN 2025) akan mengurangi beban biaya kesehatan bagi kelas menengah, yang memungkinkan mereka untuk mengalokasikan lebih banyak pendapatan untuk pengeluaran lain yang bersifat non-pokok. Hal ini tidak hanya akan memperbaiki kualitas hidup mereka, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan.


*Perhitungan rata-rata inflasi menggunakan data YoY, formula CAGR

**Perhitungan rata-rata kenaikan gaji menggunakan data BPS Februari dan Agustus, formula CAGR


Juara Capital Indonesia, 30 September 2024


 
 
 

Comments


©2024 oleh Juara Capital Indonesia

bottom of page